My Short Stories ~ Updated!

My short stories; for fun..

My Photo
Name:
Location: Palembang, South Sumatra, Indonesia

Poetic, cosmic..

Sunday, December 14, 2014

Nom

Malam itu petir menyambar-nyambar, berkejaran dengan kilat yang menyilaukan. Listrik mati. Aku sendirian di kamar dengan jendela terbuka. Aduh, dinginnya membuatku ingin batuk. Tapi kutahan, karena tidak ingin berisik dan menggagalkan rencanaku. Aku masih menantikan pemandangan yang kutunggu-tunggu setiap cuaca buruk. Anganku kembali ke beberapa hari lalu dimana dua malam berturut-turut hujan dan angin seolah mengamuk, saat aku melihat sesuatu yang aneh di pohon-pohon yang tumbuh di sekitar rumah. Makhluk itu keluar saat hujan mulai turun. Ayo keluarlah, kali ini aku sudah memasang kacamata infra merah yang kudapat dari bonus pembelian sandal gunung. Hujan mulai turun, angin bertambah kencang. Pohon-pohon itu menggila seperti hendak saling menyerang. Daun-daun seolah sekuat tenaga bertahan agar tidak terlepas dari rantingnya. Kanopi-kanopi yang biasa teduh itu terlihat agak seram dan dingin. Astaga! Itu dia! Binatang apa itu? Dari kecepatan geraknya, aku akan mengira itu seekor tupai. Tapi apa mungkin tupai berlari dengan dua kaki? Kacamataku memang membantuku melihat di pencahayaan yang minim, namun sosok makhluk itu tetap saja tidak terlihat jelas. Aku hanya bisa memperkirakan tubuhnya memang sebesar tupai. Tak lama hujan sudah turun deras. Aku melepas kacamataku dan berhenti mengamati. Atap rumah berderik-derik ditimpa air hujan. Kamar menjadi begitu sunyi, penerangan satu-satunya hanya sebuah lampu minyak. Rasanya sepi. Rindu. Padahal baru seminggu aku disini. Aku terpaksa diungsikan ke rumah bibi ibuku. Hanya saja nenek –begitu aku memanggilnya, tinggal di luar kota. Hatiku sering sedih bila teringat begitu jauh dari orangtua dan adikku. Belum lagi nanti aku akan pindah sekolah di dekat sini. Pasalnya, kesehatanku terganggu dan harus beristirahat di tempat yang udaranya masih segar dan bersih. Aku juga harus dalam pengawasan medis. Kebetulan nenek dulu perawat. “Tidak bisa tidur?” sapa nenek yang tiba-tiba muncul di ambang pintu. “Nenek cuma mau melihat apakah Alya masih bangun. Nenek membuatkanmu susu coklat.” Kilat masih sesekali muncul, cahayanya yang menerpa hujan menciptakan pemandangan yang membawa kesan indah. Seperti mimpi. Nenek ikut menatap keluar jendela. Sesekali percikan-percikan ringan mengenai muka, segar rasanya. Apalagi tubuhku terasa hangat di dalam lilitan sweater.. ”Pernah keluar rumah hujan-hujanan di malam hari?” Aku menggeleng sambil melotot. Sakitku bisa-bisa bertambah parah! ”Kalau nenek sih suka. Terutama kalau sedang galau. Hehe....” ”Alya tidak sedang galau, Nek. Eh, apa boleh lama-lama Alya berdiri di depan jendela begini, Nek? Alya tidak mau tidur sambil batuk-batuk” ”Kalau kamu merasa kuat, berarti boleh. Kalau tidak, jangan dulu,” jawab nenek sambil menaikkan syal hingga menutupi mulut dan hidungku. “Sekali-kali boleh lah, biar tubuhmu terpancing untuk menguatkan dirinya.” Aku memang dalam masa pemulihan, namun tubuhku masih kurus dan sering batuk. Ini akibat kesehatan paru-paruku yang terganggu. ”Sudah berapa lama nenek tinggal disini?” tanyaku. Aku ingin mengetahui apakah nenek pernah mengamati makhluk aneh yang sering terlihat berkeliaran di atas pohon menjelang hujan. ”Hampir lima tahun,” ”Menurut nenek ada tidak makhluk sebesar tupai, tapi berjalan dengan dua kaki?” ”Ooo.... Jangan-jangan kamu berdiri di depan jendela karena ada yang ingin kamu amati, ya?” Hatiku bersorak. Dari nada bicaranya, nenek seperti mengetahui sesuatu. Apalagi kemudian nenek melanjutkan, ”Nenek juga beberapa kali melihatnya, sepertinya selalu muncul sebelum hujan. Namun tak pernah di siang hari. Kadang terlihat melintas tidak hanya satu. Di pepohonan depan rumah juga kadang terlihat, lho! Sayang mata nenek tidak setajam dulu,” jelasnya. ”Namun kamu sepertinya bisa mengamatinya lebih seksama dari nenek!” ”Tapi –tapi aku kan sakit, Nek,” sanggahku. Aku merasa ringkih dengan tubuh kurus dan penyakitan begini. Sekali batuk saja, makhluk itu pasti terkejut dan makin cepat berlari kabur. ”Hush! Jangan meremehkan diri sendiri. Buktinya kamu sudah berhasil melihat makhluk misterius itu,” kata nenek. ”Kamu adalah apa yang kamu pikirkan tentang dirimu. Bila berpikir kamu sakit, maka kamu sakit. Demikian pula sebaliknya.” Benar juga. Tadi saat ingin batuk, aku menahannya dengan cara pura-pura tidak ingin. Keinginan batuk pun akan hilang dengan sendirinya. Aku akan cepat sembuh bila berpikir untuk sembuh, begitu mungkin maksud nenek. Tentu saja juga dengan terus menambah gizi! Hmm, susu coklatnya enak dan hangat. Keesokan harinya, di pagi yang dipenuhi siraman sinar matahari yang hangat menyehatkan, aku mulai merancang dan mengisi daftar hal-hal apa yang harus kulakukan dalam penyelidikan yang telah kumulai semalam. Aku juga berusaha menggambarkan sosok makhluk yang sempat kulihat, namun yang bisa kubuat hanya rekaan gambar yang mirip seperti kentang berambut yang memiliki kaki. Warnanya tidak jelas. Nenek datang membawa sarapan dan langsung mengamati sosok dalam gambarku. ”Menurut nenek, mereka mungkin sejenis troll atau juga gnome. Mungkin bisa kamu cari data tambahan untuk penyelidikanmu di internet,” kata nenek sambil senyum menggoda. ”Sejenis makhluk halus, Nek?” tanyaku –jadi agak takut. ”Bukan. Tapi karena jarang terlihat maka sering dikira makhluk mistis. Tapi entahlah. Maka dari itu, sepertinya memang layak kamu selidiki,” jawab nenek. ”Bisa juga sejenis hewan. Spesies-spesies baru masih terus ditemukan hingga saat ini, lho!” Itu artinya bila aku bisa membuktikan keberadaan makhluk itu, namaku akan tercatat di dalam sejarah. Asyik! Tapi yang paling penting adalah aku bisa mengetahui makhluk apa itu dan kalau bisa sih berinteraksi dengannya. Mungkin dia juga sebetulnya bisa muncul di siang hari? Mungkin malah bisa kuajak berteman? Hahaha, khayalanku sudah tinggi sekali. Aku akan berusaha mengamati pemilik langkah-langkah ringan dan gesit itu. Mulai saat ini aku akan memanggilnya dengan nama: Nom. Dan tiba-tiba segalanya jadi terasa akan baik-baik saja –kesehatanku, rasa rinduku, sekolahku. Karena hatiku gembira dan bersemangat!

Sukacita Jagung

Anak-anak lelaki mulai bosan dan sebagian beralih ke permainan sepakbola. Sedangkan anak-anak perempuan sebetulnya hanya bertugas mencabuti rumput liar. Tapi Rosmini mengambil cangkul dan mulai mencangkul di tanah keras di belakang sekolah itu untuk membuat beberapa galangan lagi tempat ia dan teman-teman sekelasnya akan menanam jagung manis. Murid-murid kelas 7.1 terpesona akan impian panen jagung yang di kemasan bibitnya dikatakan semanis madu, sedangkan wali kelas mereka dalam hatinya penuh harap agar tunas-tunas jagung akan segera muncul karena tak ingin wajah-wajah polos itu kecewa. Pelat kayu bertuliskan ‘Corn Field’ pun dipancangkan disana segera setelah galangan-galangan siap dan bibit jagung ditanam serta langsung disiram. Bu Ita –wali kelas, melihat bibit-bibit kunyit.yang ditebar di sudut-sudut kebun. Entah siapa yang ’menyelundupkan’nya di kebun jagung. Biarlah. "Bu, kenapa dikasih nama Corn Field? Kami kan orang kampung?" tanya Pidia. "Coba pakai bahasa kampung saja, Bu. Haha...," canda Musjad. "Bisa saja kamu, Musjad. Corn Field artinya ladang jagung. Mentang-mentang di kampung apa tidak boleh pakai Bahasa Inggris?", tanya Bu Ita. "Iya nih Musjad, kan sekalian belajar. Kapan jagungnya bisa dipanen, Bu?" "Within three months" "Wah!Apa tuh artinya, Bu?" tanya Musjad sambil mengetuk-ngetuk keningnya seolah sangat bingung. “Dalam tiga bulan, Musjad!” gerutu Pidia sambil melototi Musjad yang sebetulnya pandai namun sering pura-pura tidak tahu, sekedar untuk mencari perhatian. Musjad balas melotot dengan bola mata diputar-putar. Tak urung Pidia tertawa geli melihatnya. Bel berbunyi menandakan waktu pembinaan wali kelas berakhir. "Sekarang masuk kelas. Mulai besok petugas piket tolong menyiram Corn Field sebelum bel masuk ya!" Panen jagung akan tiba di pergantian tahun. Murid-murid 7.1 berjalan menuju kelas, kapala mereka dipenuhi oleh bayangan sukacita memanen jagung untuk dibakar dan menjadi santapan di malam tahun baru. Setiap kelas punya program yang berbeda; ada yang berkebun, menghias interior kelas, membuat taman, membuat perpustakaan kelas, dan lain sebagainya. Sekolah mereka tepat di sisi jalan raya, namun jauh di luar kampung. Bertetangga dengan hutan, kebun lada, karet, sawit dan tanaman buah-buahan lokal. Para orangtua murid sebagian besar mengelola kebun-kebun mereka sendiri. Namun akhir-akhir ini sepertinya anak-anak sudah mulai jarang ikut orangtua mereka ke kebun, dengan alasan sibuk sekolah. Ada bagusnya juga sih, walau anak-anak itu menjadi canggung saat diajak bekerja di kebun sekolah. ”Bu, harus ada yang mencatat pelaksanaan piket dan perkembangan kebun jagung kita,” kata Evaria –sekretaris kelas, sambil menjajari langkah Bu Ita. ”Oh, ide yang bagus sekali itu,” jawab Bu Ita, ”kamu bisa?” ”Bisa, Bu. Nanti saya minta bantu teman-teman lain juga.” Bu Ita senang mendengarnya. Gagasan dan tindakan yang muncul dari diri sendiri mudah-mudahan dapat berjalan dengan penuh tanggung jawab. Hari-hari berlalu, dalam seminggu, pohon jagung sudah tumbuh dengan sehat. Begitu pula sebulan berikutnya. Berkat pupuk yang dibawa dan ditabur oleh anak-anak kelas. Semuanya ikut menjaga, termasuk kadang-kadang anak kelas lain juga suka ikut menyiram. Dua bulan berikutnya, mulai sering hujan. Jangankan yang tidak bertugas, petugas piket pun mulai jarang mengurus Corn Field. Buahnya tidak merata. Banyak rumput liar, dan daunnya pucat. Mungkin terserang hama. Apalagi sudah mendekati ujian semester. Hanya kadang-kadang saja Bu Ita dan beberapa anak yang sempat mengurusnya. ”Lain kali kita bertanam yang lebih singkat waktu panennya,” kata Bu Ita di sela-sela jam pelajarannya. ”Iya, Bu. Tidak usah ajak anak-anak lelaki soalnya semuanya pemalas!” kata Evaria kesal, ”mereka tidak pernah lagi ikut mengurus kebun!” ”Wuuuu!” balas anak-anak lelaki. ”Jangan bising! Nanti kita buat dua kebun, jadi bisa dilihat mana yang terurus, mana yang tidak,” kata Bu Ita. Hening sesaat, cuaca masih juga mendung. CETARRRR!! Tiba-tiba terdengar suara petir besar menyambar. Terasa begitu dekat karena tak berselang jauh dari kilatan cahayanya, namun entah tepatnya dimana. ”Wah! Tiga hari lagi panen kulat!” teriak Syahrul setelah suasana tenang. Anak-anak lain yang sempat terkejut mendengar petir tadi, langsung sibuk mengiyakan. Kulat atau jamur yang bisa dimakan, menurut penduduk setempat akan muncul setelah adanya petir besar. Jamur langsung bertunas dan beberapa hari kemudian akan siap dipanen. Ada yang berwarna oranye dan ada juga yang merah –tumbuhnya di tanah. Jamur yang tumbuh di tanah biasanya tidak boleh dimasak dengan sayuran lain kecuali bawang, beda halnya dengan yang tumbuh di kayu yang agak lebih ‘bersahabat’ dalam proses memasak. Jamur yang tumbuh di kayu pelawan kabarnya mahal sekali. Ada juga jamur yang bulat dan putih seperti bola golf yang keluar dari tanah yang pada saatnya akan mengembang. ”Seharusnya sekolah kita mempunyai waktu khusus untuk mencari jamur bersama-sama di hutan, ya?” kata Bu Ita. Bisa diajukan ke sekolah nih, pikir Bu Ita. ”Setuju,” sambut murid-murid. Terutama yang laki-laki. ”Tapi kalian lihat Corn Field kita mulai tak terurus. Bila dalam tiga hari masih seperti itu, lupakan saja hari memetik jamur,” tawar Bu Ita. Ternyata benar, dengan iming-iming ’bertualang’ mencari jamur di hutan, segera saat jam istirahat, anak-anak dengan sigap mencabut rumput liar, menyangga pohon jagung, membuat pagar serta menyiram Corn Field. Ternyata suatu tugas bila dikerjakan dengan niat dan rasa ingin, tidak akan terasa berat kok. Tiga hari kemudian sekolah memberikan dua jam khusus mencari jamur di hutan sekitar sekolah. Seluruh siswa dengan riang menjalaninya. Hasilnya lumayan, jamur yang didapat cukup banyak. Bisa dibawa ke rumah untuk lauk makan siang. Mendekati akhir Desember –juga akhir semester, buah jagung sudah berisi tapi masih sangat muda untuk dipetik, tetap menyenangkan untuk dilihat. Pada hari pembagian rapor, para murid 7.1 dan Bu Ita menatap Corn Field, berharap masih bisa memanennya nanti. Harapan itu tidak terwujud. Mereka harus menerima kenyataan bahwa orang lain telah memanen jagung-jagung itu. Entah siapa yang menikmati jagung-jagung yang semanis madu itu, membakarnya di malam tahun baru dan merebut sukacita jagung dari hati mereka. Tinggal batang-batang jagung layu saja yang tersisa saat murid-murid 7.1 dan wali kelasnya dengan kecewa memeriksa Corn Field. Namun tiba-tiba Rosmini berteriak riang, ”Bu! Lihat, kunyitnya berbunga. Sepertinya sudah mulai berisi!” ”Benar. Kita bisa petik bunganya untuk sayur dan menggali kunyitnya hari ini,” tawar Bu Ita, ”tentunya masih kurus, beberapa bulan lagi akan berlipat ganda dan besar-besar” “Sekaraaaaang!” seru anak-anak yang langsung berhamburan ke kebun seolah takut akan ‘gagal panen’ lagi. Pokoknya hari itu mereka ingin memanen kunyit, walau mungkin tidak sebesar panen jagung dan tidak seseru membakarnya untuk dimakan beramai-ramai. Namun tetap terasa sama di hati mereka. Sukacita.