Sukacita Jagung
Anak-anak lelaki mulai bosan dan sebagian beralih ke permainan sepakbola. Sedangkan anak-anak perempuan sebetulnya hanya bertugas mencabuti rumput liar. Tapi Rosmini mengambil cangkul dan mulai mencangkul di tanah keras di belakang sekolah itu untuk membuat beberapa galangan lagi tempat ia dan teman-teman sekelasnya akan menanam jagung manis. Murid-murid kelas 7.1 terpesona akan impian panen jagung yang di kemasan bibitnya dikatakan semanis madu, sedangkan wali kelas mereka dalam hatinya penuh harap agar tunas-tunas jagung akan segera muncul karena tak ingin wajah-wajah polos itu kecewa. Pelat kayu bertuliskan ‘Corn Field’ pun dipancangkan disana segera setelah galangan-galangan siap dan bibit jagung ditanam serta langsung disiram. Bu Ita –wali kelas, melihat bibit-bibit kunyit.yang ditebar di sudut-sudut kebun. Entah siapa yang ’menyelundupkan’nya di kebun jagung. Biarlah. "Bu, kenapa dikasih nama Corn Field? Kami kan orang kampung?" tanya Pidia. "Coba pakai bahasa kampung saja, Bu. Haha...," canda Musjad. "Bisa saja kamu, Musjad. Corn Field artinya ladang jagung. Mentang-mentang di kampung apa tidak boleh pakai Bahasa Inggris?", tanya Bu Ita. "Iya nih Musjad, kan sekalian belajar. Kapan jagungnya bisa dipanen, Bu?" "Within three months" "Wah!Apa tuh artinya, Bu?" tanya Musjad sambil mengetuk-ngetuk keningnya seolah sangat bingung. “Dalam tiga bulan, Musjad!” gerutu Pidia sambil melototi Musjad yang sebetulnya pandai namun sering pura-pura tidak tahu, sekedar untuk mencari perhatian. Musjad balas melotot dengan bola mata diputar-putar. Tak urung Pidia tertawa geli melihatnya. Bel berbunyi menandakan waktu pembinaan wali kelas berakhir. "Sekarang masuk kelas. Mulai besok petugas piket tolong menyiram Corn Field sebelum bel masuk ya!" Panen jagung akan tiba di pergantian tahun. Murid-murid 7.1 berjalan menuju kelas, kapala mereka dipenuhi oleh bayangan sukacita memanen jagung untuk dibakar dan menjadi santapan di malam tahun baru. Setiap kelas punya program yang berbeda; ada yang berkebun, menghias interior kelas, membuat taman, membuat perpustakaan kelas, dan lain sebagainya. Sekolah mereka tepat di sisi jalan raya, namun jauh di luar kampung. Bertetangga dengan hutan, kebun lada, karet, sawit dan tanaman buah-buahan lokal. Para orangtua murid sebagian besar mengelola kebun-kebun mereka sendiri. Namun akhir-akhir ini sepertinya anak-anak sudah mulai jarang ikut orangtua mereka ke kebun, dengan alasan sibuk sekolah. Ada bagusnya juga sih, walau anak-anak itu menjadi canggung saat diajak bekerja di kebun sekolah. ”Bu, harus ada yang mencatat pelaksanaan piket dan perkembangan kebun jagung kita,” kata Evaria –sekretaris kelas, sambil menjajari langkah Bu Ita. ”Oh, ide yang bagus sekali itu,” jawab Bu Ita, ”kamu bisa?” ”Bisa, Bu. Nanti saya minta bantu teman-teman lain juga.” Bu Ita senang mendengarnya. Gagasan dan tindakan yang muncul dari diri sendiri mudah-mudahan dapat berjalan dengan penuh tanggung jawab. Hari-hari berlalu, dalam seminggu, pohon jagung sudah tumbuh dengan sehat. Begitu pula sebulan berikutnya. Berkat pupuk yang dibawa dan ditabur oleh anak-anak kelas. Semuanya ikut menjaga, termasuk kadang-kadang anak kelas lain juga suka ikut menyiram. Dua bulan berikutnya, mulai sering hujan. Jangankan yang tidak bertugas, petugas piket pun mulai jarang mengurus Corn Field. Buahnya tidak merata. Banyak rumput liar, dan daunnya pucat. Mungkin terserang hama. Apalagi sudah mendekati ujian semester. Hanya kadang-kadang saja Bu Ita dan beberapa anak yang sempat mengurusnya. ”Lain kali kita bertanam yang lebih singkat waktu panennya,” kata Bu Ita di sela-sela jam pelajarannya. ”Iya, Bu. Tidak usah ajak anak-anak lelaki soalnya semuanya pemalas!” kata Evaria kesal, ”mereka tidak pernah lagi ikut mengurus kebun!” ”Wuuuu!” balas anak-anak lelaki. ”Jangan bising! Nanti kita buat dua kebun, jadi bisa dilihat mana yang terurus, mana yang tidak,” kata Bu Ita. Hening sesaat, cuaca masih juga mendung. CETARRRR!! Tiba-tiba terdengar suara petir besar menyambar. Terasa begitu dekat karena tak berselang jauh dari kilatan cahayanya, namun entah tepatnya dimana. ”Wah! Tiga hari lagi panen kulat!” teriak Syahrul setelah suasana tenang. Anak-anak lain yang sempat terkejut mendengar petir tadi, langsung sibuk mengiyakan. Kulat atau jamur yang bisa dimakan, menurut penduduk setempat akan muncul setelah adanya petir besar. Jamur langsung bertunas dan beberapa hari kemudian akan siap dipanen. Ada yang berwarna oranye dan ada juga yang merah –tumbuhnya di tanah. Jamur yang tumbuh di tanah biasanya tidak boleh dimasak dengan sayuran lain kecuali bawang, beda halnya dengan yang tumbuh di kayu yang agak lebih ‘bersahabat’ dalam proses memasak. Jamur yang tumbuh di kayu pelawan kabarnya mahal sekali. Ada juga jamur yang bulat dan putih seperti bola golf yang keluar dari tanah yang pada saatnya akan mengembang. ”Seharusnya sekolah kita mempunyai waktu khusus untuk mencari jamur bersama-sama di hutan, ya?” kata Bu Ita. Bisa diajukan ke sekolah nih, pikir Bu Ita. ”Setuju,” sambut murid-murid. Terutama yang laki-laki. ”Tapi kalian lihat Corn Field kita mulai tak terurus. Bila dalam tiga hari masih seperti itu, lupakan saja hari memetik jamur,” tawar Bu Ita. Ternyata benar, dengan iming-iming ’bertualang’ mencari jamur di hutan, segera saat jam istirahat, anak-anak dengan sigap mencabut rumput liar, menyangga pohon jagung, membuat pagar serta menyiram Corn Field. Ternyata suatu tugas bila dikerjakan dengan niat dan rasa ingin, tidak akan terasa berat kok. Tiga hari kemudian sekolah memberikan dua jam khusus mencari jamur di hutan sekitar sekolah. Seluruh siswa dengan riang menjalaninya. Hasilnya lumayan, jamur yang didapat cukup banyak. Bisa dibawa ke rumah untuk lauk makan siang. Mendekati akhir Desember –juga akhir semester, buah jagung sudah berisi tapi masih sangat muda untuk dipetik, tetap menyenangkan untuk dilihat. Pada hari pembagian rapor, para murid 7.1 dan Bu Ita menatap Corn Field, berharap masih bisa memanennya nanti. Harapan itu tidak terwujud. Mereka harus menerima kenyataan bahwa orang lain telah memanen jagung-jagung itu. Entah siapa yang menikmati jagung-jagung yang semanis madu itu, membakarnya di malam tahun baru dan merebut sukacita jagung dari hati mereka. Tinggal batang-batang jagung layu saja yang tersisa saat murid-murid 7.1 dan wali kelasnya dengan kecewa memeriksa Corn Field. Namun tiba-tiba Rosmini berteriak riang, ”Bu! Lihat, kunyitnya berbunga. Sepertinya sudah mulai berisi!” ”Benar. Kita bisa petik bunganya untuk sayur dan menggali kunyitnya hari ini,” tawar Bu Ita, ”tentunya masih kurus, beberapa bulan lagi akan berlipat ganda dan besar-besar” “Sekaraaaaang!” seru anak-anak yang langsung berhamburan ke kebun seolah takut akan ‘gagal panen’ lagi. Pokoknya hari itu mereka ingin memanen kunyit, walau mungkin tidak sebesar panen jagung dan tidak seseru membakarnya untuk dimakan beramai-ramai. Namun tetap terasa sama di hati mereka. Sukacita.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home